Sunday, May 30, 2010

KUA

Saya ditertawai teman-teman kemaren pas telepon ke kantor KUA. Kesannya, setiap urusan dengan KUA adalah urusan orang terpaksa dan cenderung dihindari. Penuh dengan kesinisan semacam itu, berkebalikan dengan perasaan hati orang-orang yang tengah membutuhkannya. Bisa jadi, setiap detail dari momentummenuju pelaminan semuanya serba dinanti dan indah, minus KUA.

Kebetulan, pas bahas soal biaya, jawaban penerima telepon itu memang jawaban yang agak ngawur untuk ukuran sebuah lembaga pelayanan publik, "Itu nanti urusannya sama pak kepala. Yang penting ikhlas, gitu aja kan, Mas?" 

Aha! Memori saya langsung menggulung balik menuju momen ketika saya minta surat pengantar untuk membuat SKCK di rumah Ketua RW dan Kantor Kepala Desa.  Jawabannya, tepatnya pernyataan Ibu RW dan petugas stempel di Kantor Kepala Desa, waktu itu hampir senada dengan jawaban penerima telepon tadi. 

Kedua, 'urusannya sama pak kepala'? Emang gak ada prosedur biaya administrasi untuk mencatatkan pernikahan sehingga kepala KUA yang harus menentukan berapa besarnya? Sangat naif dan tidak profesional. 

"Hei, Bapak, ini kantor KUA kan? Kantor lembaga negara yang disegani itu kan?"

Atau malahan bisa saya artikan begini: memang sebenarnya tidak ada itu biaya untuk menikah di kantor KUA? Alias gratis?

Menurut cerita temen-temen sih, tidak seberapa besar kok biaya menikah di KUA. Mungkin 'tidak seberapa besar' itu pula yang bikin orang-orang tidak terlalu pusing dengan urusan bayar-membayar dalam hal ini. Saya belum tahu persis. Besok saya akan datang ke sana dan mestinya ada penjelasan-penjelasan untuk pembicaraan via telepon tadi.

Sepanjang waktu sejak dari pembicaraan telepon hingga saat menulis posting ini, asumsi saya--asumsi saja--adalah pandangan umum belakangan ini bahwa Depag sebagai institusi yang cukup bergengsi karena menyandang 'agama' tersebut justru merupakan departemen paling diduga tersubur korupsinya. Sekali lagi, ini asumsi. Asumsi yang mewarnai sepanjang posting ini.